Hari itu aku duduk seorang diri
termenung kaku di atas pasir putih,
pasir hangat nan indah bagai hamparan permadani
dari benang kristal bening dan bersih
Dalam ketermenungan sendu
Mata hitamku menatap ke tengah laut biru
memandang jauh pada panorama alam rayu
yang murah menggerakkan kalbuku
tuk menghibur jiwaku yang kerap membisu
Angin laut mengoyak acak rambut ubanku
Air asin pun mulai mencium sinis paras wajahku,
Desiran ombak mengejek-ejek ke dalam telingaku
Sekonyong ingin menunjukkan kepadaku
keangkuhan dirinya yang serba mampu
merabrak genit, mengukir lubang pada karang yang keras dan kaku,
seraya meminta izin, “saudaraku, aku rindu mengukir jati dirimu”
Burung-burung camar tertawa ria melihat mimik wajahku
Binatang-binatang pasir menebar senyum pada diriku
Keong kecil yang tersembunyi juga pura-pura lugu
Pikir mereka aku tidak tahu
Kulitku terbakar perih, pedih dan hitam
Oleh panas mentari yang suka usil merajam
ke dalam pori-pori kulit, tulang-tulangku
bahkan pada lingkaran mungil ubun-ubunku.
Kubiarkan peristiwa itu berlalu
Dengan santun mempersilahkan
Langit, alam dan laut menertawakanku
sambil berharap sang damai membawa pesan,
sebongkah keramaian tuk mengisi penatnya rasa sepiku
dan mengunjungi relung hatiku
setiap hari
23 April 2008
(23:45 Wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar