Kamis, 08 Oktober 2009

SEPI MERINDU DAMAI



Hari itu aku duduk seorang diri

termenung kaku di atas pasir putih,

pasir hangat nan indah bagai hamparan permadani

dari benang kristal bening dan bersih


Dalam ketermenungan sendu

Mata hitamku menatap ke tengah laut biru

memandang jauh pada panorama alam rayu

yang murah menggerakkan kalbuku

tuk menghibur jiwaku yang kerap membisu


Angin laut mengoyak acak rambut ubanku

Air asin pun mulai mencium sinis paras wajahku,

Desiran ombak mengejek-ejek ke dalam telingaku

Sekonyong ingin menunjukkan kepadaku

keangkuhan dirinya yang serba mampu

merabrak genit, mengukir lubang pada karang yang keras dan kaku,

seraya meminta izin, “saudaraku, aku rindu mengukir jati dirimu”


Burung-burung camar tertawa ria melihat mimik wajahku

Binatang-binatang pasir menebar senyum pada diriku

Keong kecil yang tersembunyi juga pura-pura lugu


Pikir mereka aku tidak tahu

Kulitku terbakar perih, pedih dan hitam

Oleh panas mentari yang suka usil merajam

ke dalam pori-pori kulit, tulang-tulangku

bahkan pada lingkaran mungil ubun-ubunku.


Kubiarkan peristiwa itu berlalu

Dengan santun mempersilahkan

Langit, alam dan laut menertawakanku

sambil berharap sang damai membawa pesan,

sebongkah keramaian tuk mengisi penatnya rasa sepiku

dan mengunjungi relung hatiku

setiap hari


23 April 2008

(23:45 Wib)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar